Skeptisme Agama : Keraguan Tanpa Ujung dan Kebahagiaan yang Utopis


Oleh :

Rifki Azkya Ramadhan

(Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung)


Studi Agama di Barat marak dilakukan. Namun studi agama yang mereka lakukan bukan malah menambah keyakinan kepada agama namun sebaliknya rasa skeptis terhadap agama justru makin menjadi. Definisi Agama dalam diskursus akademik di Barat masih problematik, sehingga agama di Barat dipahami hanya sebatas ketergantungan, ritus, dan fanatisme yang dogmatis. Sehingga mereka yang menganut suatu agama, termasuk Islam, dicap sebagai orang yang konservatif atau kuno.

Tercatat dalam sejarah, bahwa 2.300 tahun yang lalu dalam sejarah filsafat Yunani Kuno terdapat orang-orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Penciptaan dan kejadian alam dipahami dengan nalar rasional. Atas dasar itulah, keyakinan pada Tuhan dihilangkan dan menaruh keyakinan pada ideologi Humanisme, akhirnya Tuhan dimanusiakan dan Manusia dituhankan. Dalam bahasa Prof. Hamid Zarkasyi Humanisme itu memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia. 

 Di Barat agama sudah tidak laku lagi, bahkan Barat disebut sebagai peradaban yang berkembang tanpa melibatkan unsur Ketuhanan dalam segala aspeknya. Sehingga sedikit penduduknya yang menganut paham agama, sekalipun jika ada mereka hanya beragama tapi tidak religius.

Dampak dari pemahaman tersebut ialah hilannya nilai absolut atau kepastian dari suatu nilai. Baik dan buruk diukur oleh manusia dengan ukuran yang relatif. Semuanya bersifat relatif, tidak ada kebenaran absolut, Sehingga timbullah ketidakpastian yang tak berujung. 

Hal tersebut menimbulkan sebuah problem moralitas, seperti di Barat. Misal dalam kasus LGBT, dunia Barat sulit untuk mengilegalkan berbuatan itu karena desakan para oknum yang berargumen bahwa hal itu bagian dari Hak Asasi manusia (Human Rights). 

Sama halnya dalam legalitas alkohol, zina dan kasus lainnya. Hal itu terjadi karena peradaban barat terjerat oleh logika kebebasan individu (asal tidak merugikan orang lain) juga karena tidak adanya keyakinan yang absolut akan suatu nilai akhirnya perbuatan tersebut di legalkan.

Para Humanis model tersebut mengira dengan cara inilah manusia dapat terus berkembang, dapat dengan bebas menyalurkan kreasi akalnya, dan dapat mencapai kebahagiaan yang sebenarnya tanpa ada kungkungan dari doktrin agama dan ketuhanan. Dengan begitu mereka dapat melakukan segala hal yang ia inginkan bahkan yang menurut agama buruk dengan dalih kebebasan berekspresi dan HAM.

Namun pada realitanya mereka tidak menemukan kebahagiaan yang hakiki itu. Kebahagiaan dalam benak mereka hanya pada tatatran materialisme, sedangkan sifat dari suatu materi itu fana, pasti lenyap. Kalaupun mereka mendapatkan suatu kebahagiaan yang mereka dambakan kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama dan pasti lenyap.

 Kasus dipenjaranya seorang Komedian yang mengaku dirinya seorang agnostik karena terjerat narkoba menjadi bukti bahwa mereka yang tak beragama tidak menjamin dirinya selalu dalam kedamaian dan kesenangan karena membuang keyakinan agama dan Tuhan. Justru ia malah terjerumus pada keburukan dan kehinaan karena tidak memiliki pegangan yang pasti. Di sinilah Islam hadir sebagai penuntun manusia dalam menjalani hidupnya.

Islam menurunkan al-Qur’an sebagai Hudan atau petunjuk dalam kehidupan. Islam sebagai agama yang sempurna mengatur segala hal baik dalam ‘ubudiyyah atau mu’amalah, dari hal yang terkecil sampai yang besar telah Islam atur dalam al-Qur’an dan Sunnah. 

Agama Islam jangan disamaratakan dengan agama lain diluar Islam dan jangan didefinisikan dengan definisi agama menurut Barat. Agama Islam menurut SMN Al-Attas sudah sempurna sejak tanzil-nya, sehingga kehidupan akan mudah dijalani karena memiliki penuntun yang kongkrit. Berbeda dengan agama lain yang belum final dan jelas segala konsepnya, hingga akhirnya harus direkayasa oleh akal dan tunduk pada rasional.

Posting Komentar

0 Komentar