Oleh :
Abdurrahman Nasher
(Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Rukun Iman, dua kata yang sangat familiar didengar oleh
seluruh umat muslim di seluruh penjuru dunia. Bahkan orang-orang non-muslim pun
turut mengetahui nya. Pilar atau pondasi ini pada kenyataan nya memang di
sabdakan oleh Rasulullah saw ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril as.
dihadapan para sahabatnya.
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ
الإِيمَانِ. قَالَ: "أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ،
وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ. وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ
وَشَرِّهِ" قَالَ: "صَدَقْتَ"
“(Malaikat Jibril as.) Bertanya, ‘Apa itu
iman?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Iman adalah engkau mempercayai Allah, para
malaikat-Nya, kitab-Nya, rasul-Nya, hari akhir (kiamat), dan engkau beriman
adanya takdir baik dan buruk.’ Jibril as. menjawab, ‘Engkau benar.’”[1]
Dilihat dari segi zhahir/tekstual hadits tersebut, Iman
itu terdapat pada enam hal saja. Namun, di dalam
hadits yang lain disebutkan bahwa iman tidak hanya terbagi kepada enam perkara
saja, justru total daripada iman itu berada di sekitar 60 bagian lebih. Tingkatan yang tertingginya adalah ucapan la
ilaha illa-‘Llah dan yang paling terendah adalah mengenyahkan duri atau
marabahaya dari jalan yang dijadikan sebagai lalu lalang orang.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً. فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لا إِلَهَ إِلا
اللَّهُ. وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ. وَالحْيَاَءُ شٌعْبَةٌ
مِنَ الإيمَانِ"
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda, “Iman itu (terdapat) 60 bagian lebih. Iman yang paling tinggi
(tingkatannya) adalah perkataan la ilaha illa-‘Llah (arti: tiada ilah kecuali
Allah) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan serta malu
adalah sebagian dari iman.”[2]
Kedua hadits diatas tidaklah bertentangan melainkan
hadits yang pertama disebutkan merupakan bagian dari hadits yang kedua. Kalimat
la ilaha illa-‘Llah merupakan tauhid yang berwujudkan ucapan dan percaya
kepada Allah swt. adalah bentuk daripada tauhid tadi. Oleh karena itu, percaya
kepada Allah termasuk tingkatan iman yang paling tertinggi dari semua bagian
iman yang dimana seluruh bagian iman dianggap gugur jika pada tingkatan/bagian
iman ini pun sudah gugur duluan alias tidak diimani.[3]
Alhasil, enam rukun iman yang disebutkan diatas merupakan inti dari semua
bagian iman yang ada.
Rasa memiliki pengetahuan umat muslim terhadap rukun iman
dan mengaku diri telah beriman kepada enam perkara tersebut rupanya tidaklah
cukup. Imam Ibn Baththal mengatakan bahwa iman secara definisi etimologi
(bahasa) memanglah mengimani (at-tashdiq), namun secara syari’at bahwa
iman akan sempurna jika diiringi dengan ketaatan -yaitu berupa amalan, pen.
Beberapa ulama ahlus sunnah wal-jama’ah pun bersepakat terhadap hal ini,
karena kata iman menurut syariat adalah
التَّصْدِيقُ بِالقَلْبِ وَالْعَمَلُ
بِالأَرْكَانِ
“Membenarkannya dengan hati dan
mengamalkannya dengan anggota tubuh”[4]
Artinya, enam rukun iman tidak akan dinilai sempurna jika
amalan tidak diikutsertakan dalam kehidupan saat di dunia. Iman kepada Allah
dan Rasul tidak akan dianggap jika ia tidak mengamalkan apa yang telah
diperintah dan dilarang oleh keduanya. Demikian pula iman kepada kitab-kitab
Allah, akan hangus tak bersisa jika tidak berusaha semaksimal mungkin mengimplementasikan
apa yang terkandung didalamnya dan seterusnya.
Dari semua penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa hakikat dalam mengimani enam rukun iman adalah mengamalkan apa yang
tertuang di dalamnya dan berfungsi untuk mewujudkan umat Islam yang berkembang
dan maju dalam peradaban. Dengan takluknya diri supaya dapat berbuat baik
-dalam konteks ini mengamalkan enam rukun iman- maka di sisi yang lain,
sejatinya orang itu telah menaklukan musuh terbesar yang ada di dalam dirinya
manusia, yaitu hawa nafsu.
Inilah hakikat dari mengimani enam rukun iman yang mulia
itu.
Wal-Llah A’lam.
0 Komentar