Menjadi Manusia dengan Berpikir


Oleh : 

Rifki Azkya Ramadhan

(Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung)


        Pernah saya mengikuti majlis kajian bersama Prof. Atip Latipulhayat sebagai narasumbernya. Salah satu ucapan beliau yang amat berkesan bagi saya ialah ketika beliau berucap “exist-nya manusia akan lebih terlihat, manakala rasa penasaran dan ingin tahu nya luas, sehingga ia banyak bertanya dan berpikir”.

            Tidak dapat dipungkiri bahwa bertanya merupakan salah satu alternatif mencapai pengetahuan. Berbagai ilmu atau suatu hal baru selalu muncul dari sebuah pertanyaan. Oleh karena itu pentinglah bagi setiap Muslim khusunya seorang thalib al-‘ilm untuk memiliki rasa keingin tahuan yang luas.

            Para sahabat dahulu sering kali bertanya kepada Rasulullah saw dalam pelbagai masalah, baik itu masalah syari’at atau mu’amalah. Hal itu diabadikan dalam al-Qur’an. Sehingga kini banyak dijumpai dalam al-Qur’an, bahwa banyak penjelasan atau ilmu yang baru diketahui disebabkan para sahabat banya bertanya, diantaranya penjelasan tentang khamr dan judi, bulan-bulan haram, harta rampasan dan banyak hal lain.

            Dalam berbagai forum ilmiah pun, seperti diskusi, seminar dan lain-lain, dalam draft susunan acaranya selalu saja ada sesi tanya jawab. Karena dengan adanya sesi tanya jawab, menjadikan forum tersebut tidak melulu monolog, namun para audience pun diberi kesempatan untuk aktif. Dengan adanya sesi Q&A pun pembahasan forum tersebut akan terkesan lebih luas, karena adanya elaborasi dari berbagai pihak, baik narasumber ataupun audience yang bertanya.

            Seorang thalib al-‘ilm pun erat kaitannya dengan sifat amat penasaran. Abu Hurairah, terkenal sebagai sahabat yang sangat bersemangat pada ilmu. Tercatat sebanyak 5000-an lebih hadits yang ia terima. Rasulullah saw pun mengakui akan jiwa semangatnya dalam menimba ilmu. Hal tersebut tersurat dalam salah satu hadits

         عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

            Dari Abu Hurairah r.a ia bertanya: “Wahai Rasulullah saw, siapa yang akan bergembira karena syafa’at-mu di hari kiamat nanti?” Rasulullah saw menjawab: “Sungguh aku telah mengira wahai Abu Hurairah, bahwa engkaulah orang pertama yang akan menanyakan hal ini. Orang yang akan bergembira dengan syafa’at-ku nanti di hari kiamat ialah, orang yang mengucapkan laa ilahaa illal-Llah secara tulus dari hatinya atau jiwanya” (H.R Bukhari no. 99)

Kebiasaan Abu Hurairah sehari-hari mengikuti Rasulullah saw, dan memanfaatkannya untuk bertanya banyak hal.

            Imam Abu Hamid al-Ghazali pun dalam kitabnya Bidayatul-Hidayah, menulis adab-adab seorang murid ketika bertanya kepada syaikh-nya. Ini menunjukkan pembelajaran itu tak lepas dengan bertanya dan menjawab. Jika pembelajaran hanya dimaknai sempit sebatas transfer ilmu saja, dan itu pun belum tentu dimengerti atau tidaknya, maka jangan heran bila pembelajaran akan terlihat lebih monoton.

            Rasa keingin tahuan yang tinggi yang direalisasikan dengan bertanya, bukan berarti dia bodoh atau tidak mengerti. Justru hal itu mengindikasikan orang tersebut berpikir atau merasa ada yang perlu dipertanyakan dari yang dipahaminya. Mustahil ada pertanyaan bila tidak dimengerti dan dipikiran terlebih dahulu. Sebagai contoh, seseorang mengikuti seminar mengenai persatuan dan kesatuan bermasyarakat. Setelah materi selesai, ia mengerti bahwa persatuan dan kesatuan itu erat kaitannya dengan sikap toleransi, dan makna dari toleransi itu sangat luas. Banyak pula tafsiran toleransi dari berbagai tokoh. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya, karena dia Muslim, bagaimana konsep toleransi yang benar, juga implementasinya dalam bermasyarakat. Apakah dalam setiap aspek perlu toleransi? Atau ada satu atau beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam ber-toleransi? Jika ia sampai pada titik itu, tandanya ia mengerti dan berpikir.

            Namun yang sering keliru dalam budaya keilmuan, seringkali hal-hal yang prinsipil dan bersifat substansial itu terus dipertanyakan. Seperti eksistensi Tuhan, autentisitas al-Qur’an, superioritas Wahyu. Hal semacam itu seharusnya sudah dapat di-iman-i atau dipercaya, sekalipun tanpa ada bukti rasional. Pasalnya ini sudah menyentuh ranah aqidah yang dimana kebenarannya sudah tidak bisa diganggu gugat.

            Lebih parahnya lagi, pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dari ucapan seorang Muslim, bahkan seorang intelektual Muslim sekalipun, Na’udzubil-Llahi min Dzalik. Mereka lah orang yang telah tertipu oleh retorika indah yang dusta (Zukhrufal-Qauli Ghuruura). Mereka terbelai oleh indahnya argumentasi para orientalis yang tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk menghancurkan Islam, mereka lah setan-setan dalam wujud manusia (QS al-An’am [6]: 112).

            Itulah akibatnya bila salah “gaul” dalam intelektual. Dalam mencari ilmu, perlu diperhatikan pula dari mana kita mengambil ilmu tersebut. Carilah guru yang sudah teruji kelurusan aqidah-nya, bukan malah Muslim yang menjadi “musuh dalam selimut” alias menghancur Islam itu sendiri. Literatur yang dibaca pun perlu dijaga. Bila hendak mengarungi pemikiran para filsuf yang terbilang “ekstrim” dalam pemikirannya, seperti Friedrich Nietschze, Socrates, atau Rene Descartes, tentunya perlu bekal dan persiapan ilmu sebagai pegangan agar tidak terbawa arus pemikiran mereka. Bila hal itu tidak diperhatikan, maka tak heran jika ilmu yang didapat bukan malah menuntun pada ketaqwaan dan keimanan, malah berujung pada kesesatan, Na’udzubil-Llahi min Dzalik.

            Maka didapati kesimpulan bahwa suksesnya pendidikan diindikasikan oleh keaktifannya dalam bertanya dan berpikir. Bukan hanya dapat menjawab soal ujian, namun mampu pula dalam menjawab soal kehidupan.

            Wal-Llahu A’lam


Posting Komentar

0 Komentar