Hanya sebuah letupan



Oleh : Fikri Dzikrul Hakim

(Alumni PPI 27 Situaksan Bandung)


Dari cucumu.

Kek, terlepas dari indahnya surga yang Tuhan janjikan, di hati kecilku ada harapan untuk kembali merasakan lembutnya belaianmu setiap kali engkau pulang dari masjid.

Kakek tahu kenapa aku ada di masjid?

Karena bagiku Masjid bukan hanya sekedar tepat seremonial ibadah tapi juga seremonial rindu.

Aku yang berjalan berdampingan bersama para lansia seolah aku membayangkan mereka itu engkau. Aku salat disamping para lansia seolah aku salat bersamamu. Aku melihat mereka tersenyum seolah aku melihatmu tersenyum. 

Aku bersalaman dengan mereka sehabis salat seolah aku sedag bersalaman denganmu. Aku melihat mereka berkhutbah seolah aku melihat engkau sedang menasihatiku. Aku tertawa bersama mereka seolah aku sedang tertawa bersamamu. Ini kerinduan cucumu, kek. Apakah kau juga merasakan rindu itu?

Rindu yang kata Joko Pinurbo adalah sajak sederhana yang tak akan pernah mati.

Rindu yang kata Sudjiwo Tejo adalah hasil pembagian antara aku dan jarak.

Rindu yag kata Wira adalah sesuatu yag selalu jatuh di tarik sepi yag lupa berteduh.

Rindu yang kata Rendra adalah tangan yang selalu menampungmu kala Bumi berangkat tidur, duka berangkat hancur.

Rindu yang kata Rocky adalah semacam elektron yang hanya melintas tapi selalu saja menghindar dari dari definisi juga enggan untuk berhenti. 

Rindu yag kata kekasihku adalah udang yang bersembunyi dibalik batu kemarahan.

Kek, Apakah tulisan ini mendarat di kamar surgamu? Apakah malaikat menyampaikan juga bait rindu yang selalu aku lafadzkan dalam doaku yang singkat untukmu?

Posting Komentar

0 Komentar