Oleh : Rifki Azkya Ramadhan
(Pelajar Pesantren Persis 27 Situaksan Bandung)
Nama Muhammad Natsir begitu populer dalam dunia perpolitikan. Jasa dan perjuangannya senantiasa disampaikan oleh para politikus. Kajian mengenai pemikirannya tak habis-habis dikaji dalam berbagai forum. Namun sayangnya, nama Muhammad Natsir dalam dunia pendidikan tidak setenar namanya dalam dunia perpolitikan, padahal bila dilihat kembali perjuangannya Muhammad Natsir begitu berjasa atas gagasan pendidikannya yang ia usung, yaitu gagasan pendidikan integral.
Hal ini bermula ketika umat Islam dimarginalkan dan dimonopoli haknya dalam mengurus pemerintahan, politikus-politikus Muslim dipandang sebelah mata, dan puncaknya pada tahun 1960-an partai besar Islam yaitu MASYUMI dipaksa turun dari teater pemerintahan karena dianggap selalu bertentangan dengan dasar negara.
Pembubaran MASYUMI oleh rezim Sukarno ini ternyata membawa rahmat. Umat Islam akhirnya sadar bahwa mereka terlalu sibuk oleh urusan perumusan tata dasar negara, walau hal itu bukan perkara yang salah, namun mereka melupakan satu hal yang kiranya lebih penting dari hal itu, yakni menyiapkan kader untuk estafeta dakwah umat Islam, karena inti dari politik tiada lain dan tiada bukan ialah dakwah.
Atas dasar itulah DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia) didirikan, lebih tepatnya pada tahun 1967 di Tanah Abang masjid al-Munawwarah. Lembaga dakwah ini digagas oleh para pemikir Islam yang terkenal dahulunya aktif di partai Masyumi. Melalui terobosan inilah akhirnya banyak lembaga pendidikan Islam yang berdiri seperti PTAIN dan yang lainnya.
Melalui lembaga ini pula konsep pendidikan digagas untuk diterapkan dalam kurikulum pembelajaran lembaga-lembaga pendidikan yang telah dibangun. Salah satu gagasan yang diterapkan ialah gagasan dari M. Natsir, yaitu Pendidikan Integral.
Pendidikan Integral ini lahir dari keresahan beliau atas konsep atau sistem pendidikan yang diterapkan oleh Pemerintahan Belanda. Mereka mendidik hanya dalam ranah intelektual, sedangkan ranah spiritualitasnya mereka abaikan. Pada akhirnya konsep pendidikan seperti itu hanya menghasilkan anak didik yang hanya pintar akalnya tapi tidak budinya. Generasi seperti inilah yang tidak diinginkan.
Keresahan itu pula yang membuat Natsir mendirikan sebuah lembaga PENDIS (Pendidikan Islam), lembaga pendidikan yang menerapkan konsep pendidikan integral. Banyak rintangan yang dilalui Natsir dalam membangun lembaga ini, baik dalam hal ekonomi, logistik dan yang lainnya. Namun dari sinilah beliau menaruh harap besar agar lahir generasi yang tidak hanya baik dalam akhlaq dan ibadahnya, namun dapat pula bersaing dalam persaingan global dengan bekal pengetahuan yang mumpuni.
Sumber: JAS MEWAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Dakwah & Sejarah), Tiar Anwar Bachtiar
0 Komentar