Oleh : Fikri Dzikrul Hakim
(Pelajar Pesantren Persis 110 Manbaul Huda)
Manusia adalah patung yang dipahat oleh keputusan-keputusan yang dia ambil, begitu kata Sartre. Ia menihilkan faktor-faktor eksternal dalam dirinya seperti hubungan sosial, keadaan ekonomi, hingga situasi politik dimana dia hidup. Sastre selalu menekankan pada otentisitas dan individualisme manusia, tanpa syarat apapun.
Walau begitu Sartre pernah punya pemikiran bahwa etre pour autrui “ada untuk yang lain” memang manusia hadir untuk manusia lainnya. Ini disebabkan bahwa manusia adalah makhluk yang dipandang dan memandang. Manusia dalam sisi gelap menajdi objek dari faktor eksternal diluarnya.
Namun, ketika sartre melihat bahwa dengan menjadikan manusia sebagai objek akan membuat manusia itu berada dalam jurang kejatuhan. Makanya, Sartre merubah pendapatnya menjadi “ada untuk dirinya sendiri”. Ini akan terwujud bila manusia melobangi pengobjekkan eksternal pada dirinya dengan cara memberontak atau menidaki objektivitas tadi. Bagi Sartre, orang lain adalah dia yang mengurangi ruang kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya. Ia terlebuh dahulu hadir dalam wujud raga sebelum menemukan makna filosifis dalam hidupnya. Manusia itu sendirilah yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Bahkan saat ia lari sekalipun, ia harus bertanggung jawab atas pelariannya itu.
Otentisitas manusia bukan sebuah kemewahan individualistik tapi kesediaan untuk bertanggung jawab atas semua. “man is nothing else but what he makes of himself. This is the first principle of existensialism”. Apakah kalian tahu, bahwa kalian punya kebebasan yang mutlak ; dan bahwa kalianlah yang menentukkan diri otentik kalian” tanya sartre.
0 Komentar