Oleh :
Abdurrahman Nasher
(Pelajar Pesantren Persis 27 Situaksan Bandung)
Menjelang pergantian tahun, kita biasanya
menjumpai orang-orang Kristen menjalankan serangkaian ibadah yang disebut
dengan Natal. Natal sendiri diserap dari bahasa Portugis: Natal, yang
artinya kelahiran. Singkatnya, Natal merupakan hari raya atau perayaan kelahiran
Isa al-Masih atau Yesus Kristus yang diselenggarakan pada tanggal 25 Desember
setiap tahunnya (Runturambi, 2019). Ucapan “Selamat Hari Raya Natal”, “Merry
Christmas”, dan yang semisalnya pun terdengar dan tertulis di mana-mana, baik di tempat publik hingga media sosial.
Tidak
henti-hentinya, kaum muslim membincangkan
bagaimana hukum dari mengucapkan “selamat natal” kepada mereka yang
merayakannya. Ada anggapan bahwa tidaklah mengapa untuk mengucapkan hal yang
demikian, karena ini menyangkut toleransi yang perlu dijunjung tinggi oleh
seorang muslim untuk memperlihatkan bagaimana Islam mengajarkan akhlak yang
mulia. Ketika kita diberi salam “selamat natal” oleh non-muslim maka kita
diperintah untuk membalasnya sebagaimana firman Allah swt,
﴿ وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ
اَوْ رُدُّوْهَا ۗ...﴾
“Apabila
kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan...” (Q.S An-Nisa [4]: 86) (Al-Qardlawi, 2006).
Alasan lain diperbolehkannya
mengucapkan “selamat natal” adalah karena kita sendiri tidak meyakini bahwa Isa
a.s. itu lahir pada tanggal 25 Desember —bahkan dalam kitab mereka sendiri pun
dijelaskan bahwa kelahiran Isa a.s. bukan di waktu tersebut—. Allah Swt. mengabadikan peristiwa di mana dan kapan Nabi
Isa a.s. lahir dalam QS. Maryam [19]: 22-25. Selain itu, di saat mengucapkannya
pun, kita tak terbesit sama sekali pengakuan akan ketuhanan Isa a.s., melainkan kita meyakini bahwa Isa a.s. itu lahir pada musim kemarau dan ia merupakan Nabi utusan
Allah Swt., hal itu berdasarkan “‘selamat natal’
yang Qur’ani.” (Quraish, 1997).
Namun, pendapat
tersebut bila ditinjau malah bertentangan dengan hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa seorang muslim haram untuk menyampaikan salam
khusus bagi orang non-muslim, dalam konteks ini adalah orang Kristen, sehingga
mengucapkan “selamat natal” dihukumi haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama
(attaubah-institute.com).
«لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ... »
“Janganlah
kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Kristen...” (H.R Muslim
no.5789)
Sudah sepatutnya
kita sebagai seorang muslim sejati untuk membatasi diri dalam hal menjaga kerukunan dan toleransi dengan memperhatikan aqidah Islam yang
telah diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. serta redflag atau
batasan-batasannya. Firman Allah Swt.,
﴿ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ ٦ ﴾
“Untukmu
agamamu dan untukku agamaku.” (Q.S Al-Kafirun [109]: 6)
Lebih jelasnya lagi, dalam kitab Ahkam Ahl adz-Dzimmah, Imam Ibnu
al-Qayyim r.h menerangkan bahwa mengucapkan tahniah (selamat) yang
merupakan bagian dari syiar non-muslim itu tidak diperkenankan alias haram.
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به
فحرامٌ بالاتفاق، مثل أن يهنِّئهم بأعيادهم وصومهم، فيقول: عيدٌ مباركٌ عليك، أو
تَهنأ بهذا العيد، ونحوه، فهذا إن سَلِم قائلُه من الكفر فهو من المحرمات، وهو
بمنزلة أن يُهنِّئه بسجوده للصليب، بل ذلك أعظم إثمًا عند الله وأشدُّ مقتًا من
التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه.
“Adapun
memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi
orang-orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para
ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka
seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau
dengan ucapan selamat pada hari besar mereka”, dan semacamnya. Kalau memang orang
yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran (maksudnya tidak akan menyebabkan seseorang murtad), namun dia melakukan sesuatu yang diharamkan (berdosa). Ucapan selamat
hari raya, seperti itu, pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas ibadah yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar
dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah
dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras,
membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.” (Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, 1/293-294)
Jadi, janganlah menjadikan keridloan orang-orang non-muslim sebagai tolok
ukur dari suatu kebenaran atau dipaksakan lalu dibuat seolah-olah hal tersebut
diperbolehkan jika hal tersebut berkaitan dengan agama, padahal Islam merupakan
satu-satunya agama yang diridloi oleh Allah Swt. serta Ia berjanji akan memberikan
surga secara eksklusif, alias VIP kepada para pemeluknya saja.
Wal-‘Llahu A’lam.
0 Komentar